A. Bahasa Pidgin dan Kreol
1. Bahasa Pidgin
Bahasa pidgin (pijin) adalah unsur bahasa yang dihasilkan dari kontak bahasa antarbangsa pada tempat tertentu dan muncul dalam komunitas perdagangan. Menurut KBBI (edisi 4:2008), pidgin (pijin) adalah pemakaian dua bahasa atau lebih yang dipermudah sebagai alat komunikasi sosial dalam kontak yang singkat antara orang-orang yang berlainan bahasanya dan tidak merupakan bahasa ibu para pemakainya. Wardhaugh mendefinisikan pidgin adalah:
A pidgin is a language with no native speakers: it is no one’s first language but is a contact language. That is, it is the product of a multilingual situation in which those who wish to communicate must find or improvise a simple lamguage system that will enable them to do so.(Wardhaugh, 2010:58).
Pidgin adalah sebuah bahasa yang tidak memiliki penutur asli: bahasa ini bukan bahasa pertama seseorang, melainkan bahasa pergaulan (contact language), dan merupakan hasil dari situasi multibahasa, dimana seseorang yang hendak berkomunikasi dengan orang lain harus menemukan cara atau mengembangkan kode-kode sederhana. Pidgin juga merupakan sebuah bahasa yang muncul sebagai hasil interaksi antara dua kelompok yang berbicara dengan bahasa yang berbeda dan tidak mengerti apa yang dibicarakan satu sama lain, sehingga mereka menggunakan apa yang dinamakan dengan pidgin ini untuk berkomunikasi. Misalnya, pedagang asongan di kawasan Tanah Lot bertutur dengan wisatawan asing dalam bahasa Inggris pidgin. Bahasa Inggris digunakan sebagai dasar dan lafalnya disesuaikan dengan lidah Indonesia, contohnya
a. peri cip (very cheap) = sangat murah
b. paip (five) = lima
c. masas (massage) = pesan
d. tosen (thousand) = seribu
e. many-many different with art shop (the price is much different from the price given in the art shop) = harganya banyak beda dengan ditoko.
Selain itu Holm menambahkan
Holm (dalam Wardhaugh, 2006:58) defines a pidgin as a reduced language that result from extended between groups of people with no language in common; it evolves when they need some means of verbal communication, perhaps for trade, but no group learns the native language of any other group for social reasons that may include lack of trust or of close contact.
Holm mendefenisikan pidgin sebagai bahasa yang dihasilkan oleh sebuah kelompok orang yang tidak memiliki bahasa yang sama, kemudian berkembang sebagai alat komunikasi untuk perdagangan, tetapi bahasa ini tidak memiliki penutur asli. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan pidgin adalah variasi bahasa yang tidak memiliki pentur asli, yang bercirikan penyederhanaan (simplification), dan lazimnya mengalami penyederhanaan dalam tata bahasa dan kosakata.
Pidgin ialah suatu bahasa campuran dari dua bahasa (atau lebih) yang muncul secara alamiah karena masing-masing pihak penutur bahasa aslinya tidak saling mengerti (Wardhaugh, 1986:57; Fasold, 1990:181; Crystal, 1992:334). Tentu saja, pidgin itu tercipta agar masing-masing pihak dapat saling berkomunikasi. Biasanya, bahasa pidgin terjadi dari bahasa penduduk asli yang bercampur dengan bahasa kaum pendatang. Biasanya pula, sumbangan dari bahasa penduduk asli lebih banyak daripada sumbangan dari bahasa kaum pendatang, tetapi hal itu tidak bersifat mutlak. Hal terpenting ialah bahasa pidgin lebih sederhana dari masing-masing bahasa penyumbangnya. Dengan kata lain, bagaimana yang lebih mudah diterima/dimengerti oleh kedua belah pihak, bagian itu pula yang masuk ke dalam pidgin.
Pidgin terbentuk ketika para penutur melakukan hubungan dagang atau interaksi dengan penutur bahasa lain, atau bekerja pada perkebunan yang diurus oleh penutur bahasa lain dan tidak mengerti bahasa lawan tuturnya. Mereka yang menggunakan pidgin juga memiliki bahasa lainnya juga, melainkan pidgin dijadikan sebagai bahasa tambahan yang digunakan untuk tujuan tertentu seperti dalam perdagangan atau administrasi, misalnya untuk membeli dan menjual padi atau kulit hewan. Selain itu pidgin tidak digunakan sebagai alat identifikasi grup atau untuk mengungkapkan jarak sosial. Dalam hal ini fungsi utamanya bahasa pidgin tersebut adalah untuk memungkinkan para pekerja berkomunikasi antara satu sama lain, karena para buruh perkebunan berasal dari daerah yang berbeda-beda dan digunakan oleh para mandor untuk mengarahkan para buruh kasar.
Pidgin tidak hanya muncul didaerah perdagangan dan didaerah pesisir pantai, melainkan pidgin juga bisa terjadi dikawasan bekas daerah-daerah jajahan dan di daerah yang berkawasan masyarakat heterogen. Pidgin bisa terbentuk dari kosakata dan struktur yang berlainan dan juga mengambil salah satu bahasa lain sebagai dasar penyempurnaan kosakatanya.contohnya saja Bahasa Melayu Pasar. Bahasa Melayu ini terjadi akibat penyebaran perdagangan antaretnis. Bahasa Melayu Pasar adalah bahasa pidgin yang dipengaruhi kontak antara pedagang Melayu dan Cina. Contohnya:
Rumah-ku menjadi Saya punya rumah
Saya pukul dia menjadi Saya kasi pukul dia
Megat dipukul Robert menjadi Megat dipukul dek Robert
2. Kreol
Kreol adalah pidgin yang dalam perkembangannya menjadi bahasa ibu dari suatu masyarakat bahasa. Kreol muncul ketika pidgin menjadi bahasa ibu pada suatu komunitas tertentu. Kreol merupakan pidgin yang telah mengalami perluasan dalam segi struktur dan kosakatanya untuk mengungkapkan makna atau fungsi yang serupa yang diperlukan oleh sebuah bahasa pertama.
Holmes (dalam Wardhaugh, 2010:59) says that ‘A creol is pidgin which has expanded in structure and vocabulary to express the range of meaning and serve the range of function required og a first language. (dalamWardhaugh, 2006:59)
Holmes mengatakakan kreol adalah pidgin yang strukturnya diperluas, kosa katanya mengekspresikan sejumlah arti dan berfungsi sebagai pemerolehan bahasa pertama. Kreol muncul ketika bahasa pidgin menjadi bahasa ibu dari sebuah generaasi baru anak-anak. Misalnya ketika seorang pria dan seorang wanita yang memiliki bahasa yang berbeda menikah, keduanya tahu bahasa pidgin dan belajar bahasa pasangannya. Pidgin kemudian menjadi bahasa rumah yang digunakan bersama dan menjadi bahasa ibu anak-anak mereka.
Kreol adalah pidgin yang membutuhkan penutur asli (native-speaker). Banyak dari pidgin ini yang kemudian menjadi kreol. Bahasa ini digunakan oleh anak-anak sebagai bahasa pertama mereka dan digunakan dalam jangkauan yang luas. Selain berkembang sebagai bahasa pertama, kreol juga berbeda dari pidgin dari segi fungsi dan strukturnya. Kreol merupakan pidgin yang telah mengalami perluasan dalam segi struktur dan kosakatanya untuk mengungkapkan makna atau fungsi yang serupa yang diperlukan oleh sebuah bahasa pertama.
Kreol adalah bahasa yang terbentuk jika suatu sistem komunikasi yang pada awalnya merupakan bahasa pidgin kemudian menjadi bahasa ibu suatu masyarakat. Semua bahasa yang disebut pidgin pada kenyataannya sekarang ini menjadi bahasa kreol baru. Misalnya bahasa Tansi di Sawahlunto yang merupakan perpaduan bahasa Jawa, bahasa Indonesia dan bahasa Minang, yang tumbuh dan berkembang pada zaman kolonial Belanda yang digunakan sebagai bahasa sehari-hari oleh buruh tambang yang sebagian besar berasal dari suku Jawa yang masih bisa kita rasakan pada saat ini , diantaranya:
a. dimana ke ? (dimana kamu?) "ke" dari "kowe"
b. udah ke kabek-in anjing ke? (sudah kamu ikatkan anjingmu?)
c. kemana aja ke, kok lama gak ketok-ketok? (kemana saja kamu, kok lama tidak keliatan?) "ketok" = terlihat/tampak
d. udah ta’ kek-i tapi dia tak mau terima (sudah saya berikan tapi dia tidak mau terima) ta' = kata depan. kek-i = berikan
Contoh lain yaitu, Bahasa Melayu Pasar yang dipengaruhi kontak antara pedagang Melayu dan Cina, bahasa ini dahulunya tergolong ke dalam bahasa pidgin dan mengalami proses kreolisasi :
a. Rumah-ku menjadi Saya punya rumah
b. Saya pukul dia menjadi Saya kasi pukul dia
c. Megat dipukul Robert menjadi Megat dipukul dek Robert
Kreolisasi merupakan perubahan sebuah pidgin menjadi kreol. Bahasa Melayu Pasar masih dipakai dengan lingkup terbatas di Singapura, Malaysia dan Sumba Timur (NTT).
Menurut Wardhaugh pidgin dan kreol hampir saling berlawanan. Pidgin melibatkan penyederhanaan bahasa, misalnya pengurangan morfologi (struktur kata) dan sintaksis (struktur tata bahasa), adanya toleransi terhadap variasi fonologi (pelafalan), pengurangan fungsi bahasa pidgin, peminjaman kosakata dari bahasa ibu setempat. Sebaliknya, kreol melibatkan pelebaran morfologi dan sintaksis, pengaturan fonologi, secara sengaja ditambahkan fungsi bahasa tersebut dan perkembangan sistem yang rasional dan tetap untuk menambah vokabuler.
Pidgin muncul karena kebutuhan untuk berkomunikasi, terutama jika pembicara dan pendengar memiliki bahasa yang berbeda. Tidak semua pijin berubah menjadi kreol. Kebanyakan pijin adalah lingua franca, ada karena kebutuhan. Jika pidgin tidak lagi digunakan, maka ia akan mati. Pidgin berubah menjadi kreol hanya jika karena suatu alasan tertentu, pijin menjadi satu ragam bahasa yang diharus digunakan oleh anak-anak dalam situasi tertentu yang tidak menghendaki penggunaan bahasa secara penuh. Orang berbicara kreol lebih cepat daripada pidgin dan tidak mengucapakan kata per kata, sehingga penyederhanaan sangat terlihat. Misalnya, ma bilong mi (suami saya) menjadi mablomi.
Pertemuan 1
TEFL I
Berbagai
Pendekatan dan Metodologi Pengajaran Bahasa Inggris
Keberhasilan
siswa dalam menerima pelajaran dari guru tidak hanya tergantung pada materi
ajar, tapi juga bagaimana guru menyampaikannya kepada siswa dan bagaimana siswa
menerima dan memahaminya. Oleh karena itu, seorang guru perlu memahami
pendekatan, metode dan teknik menyampaikan materi ajar kepada siswa dan cara
siswa menerima materi ajar tersebut sehingga siswa memahami materi tersebut
dengan baik. Keberhasilan tersebut dapat dinilai dengan mengevaluasi hasil
belajar siswa. Dengan demikian, maka perlu dikemukakan beberapa pendekatan dan metodologi dalam pengajaran bahasa asing termasuk
bahasa Inggris sebelum melihat secara rinci model pendekatan komunikatif dalam
pembelajaran bahasa Inggris.
1. Metode
Pencelupan (Immersion)
Model imersi (immersion) ini atau dikenal
dengan istilah lain adalah; ‘context’ berkaitan dengan ‘content based
instruction’. Genese (1985) dalam Hadley (1993:155) mendefinisikan program
pencelupan “as those in which the
target language is used for teaching regular school subjects”. Dia
menguraikan 3 buah model pencelupan yang digunakan di sekolah di Kanada: yaitu early
immersion, delayed immersion and late immersion. Metode ini dibuat
berdasarkan pada ide bahwa pembelajar (siswa) dapat menyerap dan menggunakan
bahasa asing seperti halnya anak memperoleh bahasa aslinya. Contoh penggunaan
metode ini adalah dalam suatu kelas dimana siswanya menggunakan bahasa aslinya
(misalnya bahasa Indonesia), guru menggunakan bahasa sasarannya atau bahasa
sasaran (misalnya bahasa Inggris) selama berada di sekolah mulai masuk di
halaman sekolah sampai meninggalkan sekolah, semua aktivitas yang berhubungan
dengan siswa harus menggunakan bahasa Inggris seperti guru memberi salam dalam
bahasa Inggris, terutama dalam proses belajar-mengajar.
Pada awalnya, siswa-siswa masih menjawab pertanyaan
atau perintah guru atau melakukan interaksinya dalam bahasa Indonesia. Di sini
guru berbicara bahasa Inggris dan siswa berbicara bahasa Indonesia. Tetapi
lambat laun situasi ini berubah, dan akhirnya semua siswa mampu menggunakan
bahasa Inggris sebagai alat komunikasi di sekolah. Dapat ditambahkan di sini
bahwa selain ketiga model pencelupan di atas, maka ada pula yang disebut dengan
pencelupan menyeluruh (total immersion)
yaitu dimana siswa tinggal dan belajar di tempat atau negara penutur asli
bahasa yang dia pelajari. Misalnya: orang Indonesia yang belajar bahasa Inggris
di negara yang penutur asli bahasa seperti Inggris, Amerika Serikat atau
Australia.
2. Metode
Terjemahan Tatabahasa (Grammar Translation Method)
Inti dari metode ini adalah mengajarkan
aturan-aturan tata bahasa secara rinci dengan penjelasan dalam bahasa siswa. Di
samping itu dalam proses belajar-mengajar, lebih banyak waktu dihabiskan untuk
membahas aturan-aturan tata bahasa (misalnya tenses, nouns, adverbs dan lain sebagainya). Kemudian
siswa diberikan latihan-latihan terjemahan bahasa asing ke dalam bahasa siswa
atau sebaliknya. Kalimat-kalimat yang dibuat selalu berdasarkan pada aturan
tata bahasa sasaran dengan penjelasan yang rinci dan latihan terjemahan kalimat
yang terpisah. Ditambahkan pula oleh Prator dan Celce Murcia yang mengatakan
bahwa sangat sedikit latihan ucapan, sedangkan kata-kata diajarkan secara
terpisah (Brown 2001:18-19)
Melihat dari karakteristik metode ini, maka dapat dikatakan
bahwa sangat sedikit atau tidak mungkin dapat meningkatkan keterampilan
komunikasi siswa dalam bahasa sasaran. Hal ini karena siswa lebih banyak
dijejali dengan aturan-aturan tata bahasa dan kosa kata yang
tidak atau sedikit berguna dalam kehidupan sehari-hari atau yang kurang relevan
dengan pengalaman atau keinginan siswa. Demikian pula siswa dipaksa menghafal
sejumlah kata tanpa akhir dan mencoba menterjemahkan kalimat-kalimat dalam dua
bahasa yaitu bahasa sasaran ke dalam bahasa siswa atau sebaliknya. Namun,
banyak guru yang suka dengan metode ini sehingga metode ini sangat terkenal
karena cara menggunakannya mudah, termasuk dalam membuat soal/tes serta
mengoreksinya, namun siswa pada umumnya banyak yang tidak tertarik dengan
metode ini.
3. Metode
Langsung (Direct Method)
Dasar pikiran dalam pembuatan metode ini adalah sama
dengan metode yang dikembangkan oleh Gouin bahwa belajar bahasa kedua harus
sama dengan belajar memperoleh bahasa pertama. Dalam kegiatan pembelajaran
tersebut, yang paling banyak dilakukan adalah interaksi secara lisan,
penggunaan bahasa secara spontan, tidak ada terjemahan baik dari bahasa pertama
ke bahasa kedua atau sebaliknya, dan tidak melakukan pembahasan atau analisis
tata bahasa (grammar) seperti membahas tentang atauran-aturan grammar,
tenses, verb, nouns dan sebagainya.
Richard dan Rogers (1986:9-10) meringkas prinsip-prinsip Direct Method
sebagai berikut yaitu: bahasa pengantar dalam kelas menggunakan bahasa sasaran,
kata-kata yang nyata diajarkan melalui demonstasi, obyek, dan gambar, sedangkan
kata-kata yang abstrak diajarkan dengan cara memberikan asosiasi ide-ide, dan
keterampilan komunikasi lisan dilakukan melalui tanya jawab antara guru dan
siswa dalam kelas kecil secara intensif.
Perkembangan popularitas metode ini tidak stabil.
Pada awalnya, metode ini sangat diminati karena dapat memotivasi siswa untuk
belajar bahasa sasaran, tapi tentu saja ada kendala yang dihadapi terutama pada
kelas-kelas besar (siswanya lebih dari 40 orang), biaya besar, waktu dan guru perlu
mempunyai keterampilan bahasa sasaran yang memadai. Metode ini memerlukan kelas
kecil, dan diutamakan perhatian individu serta belajar yang intensif.
4. Metode
Tanggapan Fisik Secara Menyeluruh (Total Physical Response- TPR)
Metode ini dikembangkan oleh James Asher (1977) dalam
Brown (2001:29) mulai melakukan eksperimennya pada tahun 1960 an. Asher
menemukan bahwa di dalam belajar bahasa pertama, anak-anak lebih banyak
mendengarkan sebelum berbicara, dan diikuti dengan respon fisik (misalnya
gerakan, melihat, menggoyang-goyangkan tangan dan kaki, dan sebagainya). Dia
juga memberikan perhatian terhadap otak kanan. Menurut Asher, gerak kegiatan
itu dimotori oleh fungsi otak kanan yang mendahului otak kiri dalam proses
berbahasa.
Metode ini
adalah sebuah metode yang digunakan dengan cara menyuruh siswa untuk melakukan
sesuatu. Metode ini biasanya digunakan untuk siswa yang baru mulai belajar
bahasa asing. Misalnya, guru menyuruh siswa untuk membuka pintu, maka ungkapan
yang dikemukakan oleh guru adalah: Open the door”. Kata-kata lainnya
misalnya, stand up, walk over there, stop, turn round, sit down, close your
eyes, open the book , pick up the book, sit down, give it to John, put your pencil on the table, dan
sebagainya. Seperti halnya pendekatan imersi, metode ini juga searah dengan
pemerolehan bahasa pertama, yaitu selalu ada kaitannya antara kata-kata dan
tindakan. Di samping itu metode ini tentu saja ada keterbatasannya. Metode ini
hanya bisa efektif untuk mengajarkan siswa-siswa pemula (pada level beginner)
yang belajar bahasa asing (bahasa Inggris), tapi untuk kelas-kelas yang lebih
tinggi (misalnya pada level advanced) tidak sesuai. Namun pada
akhir-akhir ini TPR lebih banyak digunakan sebagai model kegiatan
belajar-mengajar di dalam kelas karena lebih banyak bermanfaat dalam
komunikatif dan interaktif di kelas baik sebagai latihan mendengar (auditory
input) maupun kegiatan fisik (physical activity).
5. Metode
Audiolingual (Audiolingual Method-ALM)
Metode ini menekankan pada unsur-unsur tata bahasa (grammar)
tetapi tidak sama dengan metode grammar translation method. Dalam metode
ini grammar tidak dijelaskan secara rinci, tetapi pokok-pokok tata
bahasa tertulis lebih jelas dalam buku teks dengan berbagai contoh-contoh
kalimat, gambar-gambar, sehingga makna tata bahasa itu jelas. Waktu yang disediakan
untuk mengajarkan tata bahasa inipun sangat sedikit dan tidak begitu jauh
mendominasi pembahasan dalam suatu pokok bahasan.
Di samping itu, metode ini menggunakan teknik umpan
tanggap (Stimulus-Response), melalui proses penguatan (reinfocement)
secara terus menerus agar siswa terbiasa dengan pola yang diajarkan. Siswa
diberikan latihan dalam bentuk pentubian (drill) sehingga inti dari tata
bahasa tersebut dapat dipahami oleh siswa atau mereka menjadi terbiasa (familiar)
dengan pola tersebut. Ciri utama metode ini adalah bahwa belajar bahasa
membentuk kebiasaan. Oleh sebab itu, pelaksanaan dan latihanya lebih banyak
dilakukan dalam bentuk drill.
Berikut ini adalah contoh latihan
pentubian (drill) Audio-lingual method.
Teacher : There’s a glass
on the table ........ repeat
Students: There’s a glass on
the table
Teacher : pencil
Students: There’s a pencil
on the table
Teacher : Book
Students: There’s
a book on the table
Teacher : on the chair
Students: There’s
a book on the chair, dan seterusnya
Dengan latihan ini, siswa diharapkan dapat
menggunakan bahasa yang benar, dan tidak membiarkan adanya kesalahan yang
dibuat oleh siswa di luar dari pola yang dilatihkan.
Pada mulanya, Audiolingual Method (ALM) atau
Metode Audiolingual ini diilhami oleh kebutuhan tentara Amerika mengenai
pentingnya keterampilan bahasa lisan baik bahasa lisan pihak lawan maupun
bahasa lisan sekutunya dalam perang dunia kedua. Oleh sebab itu metode ini
awalnya dikenal dengan The Army Specialized Training Programmed (ASTP)
atau disebut juga dengan Army Method (Brown: 2001:74), maka
karakteristik utama pelatihan ini adalah terletak pada latihan percakapan (aural
activity), ucapan (pronunciation), dan latihan pentubian (drill) tentang pola-pola percakapan dan
tidak banyak melakukan terjemahan dan membahas masalah tata bahasa. Brown
menyimpulkan beberapa karakteristik ALM yang dikutip dari Prator dan
Celce-Murcia seperti materi-materi baru diajarkan dalam dialog dan kata
dipelajari dalam konteks (Brown: 2001:74-75).
Metode ini diminati dan mengakar dalam pembelajaran
bahasa karena materi ajar dipilih dengan seksama, diuji coba dan diseminasikan
ke berbagai lembaga pendidikan. Di samping itu, metode ini diminati pula oleh
siswa karena memberikan berbagai bentuk dialog/percakapan. Namun, hal ini tidak
lama bertahan karena banyak kritikan dari berbagai ahli bahasa karena
kegagalannya dalam mengajarkan kemahiran komunikatif. Hal lain yang menyebabkan
kurang diminatinya metode ini adalah belajar bahasa dengan metode ini tidak
diperoleh melalui proses kebiasaan, dan terlalu banyak waktu untuk
mempelajarinya, dan struktur linguistiknya tidak memberikan sesuatu tentang
bahasa yang diinginkan oleh siswa.
6. Belajar
Bahasa dalam Komunitas (Community Language Learning-CLL)
Metode ini hampir dikatakan tidak seperti
metode-metode lainnya dalam pelaksanaannya dalam kelas. Metode ini tidak
berbentuk seperti pengajaran dalam kelas pada umumnya, tapi lebih menyerupai
antara klien (siswa) dan konselor (guru). Mereka duduk membentuk lingkaran,
sedangkan guru berada di luar lingkaran itu, sehingga guru dapat mengontrol
dengan berjalan mengelilingi mereka. Bahan atau topik yang mau didiskusikan
tergantung dari pada kesepakatan siswa. Selama diskusi berjalan, siswa
kadang-kadang mengungkapkan ide atau pendapatnya dalam bahasa mereka, dan pada
saat itu, guru memberikan ungkapan yang ekuivalen dengan maksud siswa tersebut
mengganti atau memahami ungkapan yang sebenarnya dalam bahasa sasaran atau
mungkin juga diterjemahkan (misalnya dalam bahasa Inggris). Proses diskusi itu
biasanya direkam, kemudian dibahas bersama setelah selesai diskusi, sehingga
siswa dapat merefleksikan perasaan, dan pandangan mereka sendiri terhadap
pengalaman belajar selama itu. Oleh karena itu, guru sangat memegang peranan
dalam mengatur pelaksanaan kegiatan tersebut seperti apa yang dikatakan oleh
Wright, apakah sebagai motivator, pengoreksi (corrector) atau pemimpin (leader),
hakim (judge), orang tua (parents) dan sebagainya (Wright 1997:5).
Khususnya dalam kegiatan berbicara, peran guru bisa sebagai pemancing (prompter),
dimana pada saat siswa terhambat berbicara karena lupa sebuah kata atau frasa,
guru berperan memberikan pancingan untuk mengungkapkan idenya tersebut. Sebagai
peserta (participant), guru bisa bertindak sebagai peserta diskusi atau
sebagai salah satu pemeran dalam permainan peran. Yang paling banyak dilakukan
adalah sebagai pemberi umpan (feedback provider), artinya pada saat
siswa berbicara, kadang-kadang mereka memerlukan koreksi dari guru yang tidak
menghambat pembicaraan mereka, sehingga mereka bisa melangsungkan
percakapannya.
Sebagai
konselor, Keith Johnson (2001:9-10) memberikan contoh tentang orang-orang Amerika yang belajar bahasa Rusia
dan mencoba berbicara dalam bahasa Rusia dengan topik pilihan mereka sendiri.
Dalam menjelaskan kata-kata atau frasa misalnya, konselor tidak langsung
menjelaskan secara terbuka, tapi melalui bisikan atau hanya menjelaskan dalam
bentuk mimik atau gerakan, dan klien dapat melangsungkan percakapanya.
7. Cara
Diam (The Silent Way)
Metode ini ditemukan oleh Caleb
Gattegno Chamot & McKeon (1985) dalam Brown (2000:106) yang sangat tertarik
dengan pendekatan humanistik terhadap pendidikan. Salah satu karakteristik
metode ini adalah pendekatan pemecahan masalah terhadap belajar.
Salah satu ciri utama dari metode ini adalah guru berusaha semaksimal
mungkin tidak langsung terlibat dalam percakapan siswa atau paling sedikit ikut
mengintervensi proses percakapan siswa. Menurut Harmer, penemu metode ini,
Caleb Cattegno percaya bahwa belajar bisa berjalan dengan baik kalau siswa
menirukan dan menciptakan bahasanya sendiri dari pada mengingat atau mengulangi
apa yang diajarkan oleh guru. Jadi siswa harus mengendalikan belajarnya
sendiri, dan bukan guru (Harmer 2001:88-89).
Dalam Silent Way, guru berbicara sambil menunjuk phonemic chart
atau menyusun Cuisenaire rods. Harmer (2001:89) menjelaskanbahwa Cuisenaire rods
adalah potongan kayu kecil yang berbeda panjang. Masing-masing potongan kayu
tersebut berbeda warnanya. Cuisenaire rods sederhana sekali, tapi dapat
digunakan dalam berbagai kegiatan pembelajaran, misalnya pembelajaran kosa kata
seperti belajar warna, jumlah, kata sifat (long, short), kata kerja (give,
take, pick up) dan syntax (tense, comparative, pluralization, word order
dan sejenisnya). Untuk belajar kata benda (noun) misalnya, kita
dapat mengatakan potongan kayu itu adalah pen atau pencil or telephone, a
dog, atau a key, sehingga dengan mengangkat potongan kayu itu atau
menempatkannya dalam satu kelompok, sebuah cerita dapat terbentuk. Untuk itu,
diperlukan sedikit hayalan. Potongan kayu inipun dapat digunakan untuk
mempresentasikan suku kata (syllables) dalam satu kata dalam kalimat,
dan menunjukkan dimana tekanan kata (stress). Juga kita dapat membentuk
sebuah kata atau frasa, misalnya; lima buah potongan kayu, dan siswa diminta
mengurutkannya dengan benar. Dengan memindahkan potongan kayu tersebut dan
menunjukkan dimana terbentuk atau tidak sebuah kalimat, sehingga siswa dapat
menyaksikan dengan jelas sesuatu yang ia coba tentang apa yang dipikirkannya.
Demikian juga dalam mengajarkan kata depan (preposition), guru dapat
memberi model dengan potongan kayu seperti kalimat: The red one is on top
of/under/beside/over/behind (etc) the green one.
Selanjutnya, dalam kegiatan
belajar-mengajar, peran guru hanya memberikan isyarat (tanpa berbicara) bahwa
apa yang diungkapkan oleh siswa itu benar. Kalau siswa mengungkapkan kesalahan,
siswa lain dengan cepat menyarankan agar siswa tersebut mengungkapkan dengan
benar. Jadi siswa yang memperbaiki kesalahannya sendiri atau teman lainnya
dengan cara yang lebih menyenangkan.
Berdasarkan uraian dan ciri-ciri
metode ini, maka Richards and Rodgers (1986:99). menyimpulkan ada sebuah teori belajar di
belakang silent way ini, yaitu belajar terfasilitasi jika siswa
menemukan atau menciptakan dan bukan mengingat dan mengulangi apa yang
dipelajari baik melalui obyek fisik atau dengan cara memecahkan masalah.
8. Sugestopedia
(Suggestopedia)
Metode ini dikembangkan oleh Georgi
Lozanov, seorang ahli psikologi dari Uni Soviet. Harmer (2001:89-90). Menurut Lozanov, orang mampu belajar lebih banyak dari pada apa yang
mereka berikan pada dirinya sendiri. Metode ini memandang bahwa lingkungan dan
keadaan dalam kelas merupakan sesuatu yang penting sekali.
Ciri-ciri suggestopedia adalah
mengacu pada “infatilazation” (bersifat kekanak-kanakan) yang berarti
bahwa hubungan guru dan siswa sama dengan hubungan anak dan orang tua, dan
untuk menghindari kendala proses belajar, siswa diberi nama samaran. Tema-tema pembahasan yang
traumatik sedapat mungkin dihindari, dan rasa simpati guru dalam memperlakukan
siswa sangat penting.
Dalam pelaksanaan pembelajaran bahasa
asing, Lozanov dan pengikutnya melaksanakan eksperimen dengan mempresentasikan vocabulary,
reading, dialog, role plays, drama, dan berbagai macam kegiatan di kelas
lainnya (Brown (2000:103). Beberapa metodologi yang
digunakan dalam kelas tidak mempunyai keunikan khusus. Perbedaannya adalah
bahwa selama pelajaran berlangsung di dalam kelas, guru memutar musik klasik,
dan siswa duduk dengan rileks di tempat duduk yang empuk dan menyenangkan.
Siswa-siswa tersebut dianjurkan bertindak seperti seorang anak dan menjauhkan
perasaannya dari kondisi antara guru dan siswa.
Pelajaran suggestopedia mempunyai
tiga bagian utama. Ada sub-bagian lisan yang mana materi yang dipelajari
sebelumnya digunakan sebagai bahan diskusi, kemudian dilanjutkan dengan
presentasi dan diskusi mengenai materi dialog yang baru. Akhirnya, dalam sesi ‘seance’
atau ‘concert’ siswa mendengarkan musik dengan rileks, sementara itu,
guru membaca materi dialog yang baru disesuaikan dengan aluran musik. Selama
tahap ini siswa dan guru berhenti sejenak, kemudian siswa meninggalkan ruangan
dengan tenang (silently).
9. Pendekatan
Alamiah (The Natural Approach)
Metode ini dikembangkan oleh Tracy Terrell, teman
Stephen Krashen yang dikutip dalam Brown (2000:31). Seperti halnya Asher dengan
Total Physical Response (TPR), Krashen dan Terrel merasa bahwa siswa
lebih baik menunda berbicara sampai terjadi bicara dengan sendirinya dan siswa
harus rileks sehingga terjadi komunikasi dan perolehan bahasa. Kenyataanya, natural
approach diilhami oleh penggunaan kegiatan-kegiatan TPR pada tingkat
pembelajar pemula ketika ada masukan yang komprehensip dalam pemerolehan
bahasa.
Dalam metode ini dikemukakan beberapa tujuan
pengajaran; bahasa kedua dipelajari untuk tujuan komunikasi lisan dan
komunikasi tertulis, misalnya; untuk persiapan dalam bidang akademik;
mendengarkan kuliah, diskusi dalam kelas, menulis makalah penelitian atau buku
dan lain sebagainya. Untuk tujuan komunikasi lisan, Natural Approach
dapat memberikan dasar-dasar keterampilan berkomunikasi, misalnya percakapan
setiap hari, berbelanja, mendengar radio dan sebagainya. Dalam hal ini, tugas
pertama guru adalah memberikan masukan (input) yang komprehensip yaitu
berbicara bahasa Inggris yang dapat dimengerti oleh siswa atau sedikit lebih
tinggi dari tingkat keterampilan/pengetahuan siswa. Selama periode diam itu (silent
period), siswa tidak berbicara apapun sampai mereka merasa siap untuk
berbicara. Guru adalah sumber masukan bagi siswa dan merupakam pencipta
kegiatan-kegiatan yang menarik di dalam kelas seperti; perintah, permainan,
kelompok kecil dan sebagainya.
Di dalam metode pendekatan Alamiah (Natural
Approach) ini, siswa mengikuti tiga langkah yang dikembangkan oleh Krashen
dan Terrell yaitu: a) Tahap reproduksi yaitu merupakan tahap pengembangan
keterampilan mendengarkan (listening skill), b) Tahap produksi awal
biasanya ditandai dengan kesalahan-kesalahan siswa akibat dari kesulitan
penggunaan bahasa. Di sini guru menfokuskan pembelajarannya pada arti dan bukan
pada bentuk. Oleh karena itu guru tidak mengoreksi kesalahan-kesalahan siswa
selama tahap ini (kalau tidak akan terhambat dalam arti secara menyeluruh), c)
Tahap terakhir adalah salah satu tahap produksi bahasa ke dalam rangkaian
wacana (discourse) yang melibatkan lebih banyak permainan yang rumit (complex
games), bermain peran (role plays), dialog terbuka (open ended
dialogues), diskusi, and kelompok kecil. Berikut ini
adalah peran siswa (the roles of learners) pada masing-masing
pendekatan/metode belajar-mengajar tersebut di atas. Nunan (1989:80).
Tabel
2: Pendekatan/Metode Belajar-Mengajar dan Peran Siswa (Nunan:1989:80)
Approach
Roles
of Learners
Model of Immersion
Learner acquires and uses the target language as
the child acquires the mother language
Grammar Translation
Method
Learner is just a receiver and trained to be a
translator. There is no chance for him/her to use the target language
Direct Method
Approach
Roles
of Learners
Model of Immersion
Learner acquires and uses the target language as
the child acquires the mother language
Grammar Translation
Method
Learner is just a receiver and trained to be a
translator. There is no chance for him/her to use the target language
Direct Method
Learner is a user of the target language, and
he/she is trained to practice the use of target language spontanuously
Total physical Response (TPR)
Learner is a listener and performer; little
influence over content and none over methododlogy
Audiolingual Method
(ALM)
Learner has little control; reacts to teacher
direction; passive, reactive role
Community Language
Learning (CLL)
Learners are of social group or community; move
from dependence to autonomy as learning progresses
The Silent Way
Learner is a user of the target language, and
he/she is trained to practice the use of target language spontanuously
Total physical Response (TPR)
Learner is a listener and performer; little
influence over content and none over methododlogy
Audiolingual Method
(ALM)
Learner has little control; reacts to teacher
direction; passive, reactive role
Community Language
Learning (CLL)
Learners are of social group or community; move
from dependence to autonomy as learning progresses
The Silent Way
Learner learns through systematic analysisis; must become independent and autonomous
Suggestopedia
Learners are passive, have little control over
content or methods
The Natural Approach
Learner learns through systematic analysisis; must become independent and autonomous
Suggestopedia
Learners are passive, have little control over
content or methods
The Natural Approach
Learners play an active role and have relatively
high degree of control over content language production
Oral/situational
Learner listens to teacher and repeats; no control
over content or methods
Communicative Approach
Learner has an active, negociative role; should
contribute as well as receive
Learners play an active role and have relatively
high degree of control over content language production
Oral/situational
Learner listens to teacher and repeats; no control
over content or methods
Communicative Approach
Learner has an active, negociative role; should
contribute as well as receive
Tidak ada komentar:
Posting Komentar