Pertemuan 1
TEFL I
Berbagai
Pendekatan dan Metodologi Pengajaran Bahasa Inggris
Keberhasilan
siswa dalam menerima pelajaran dari guru tidak hanya tergantung pada materi
ajar, tapi juga bagaimana guru menyampaikannya kepada siswa dan bagaimana siswa
menerima dan memahaminya. Oleh karena itu, seorang guru perlu memahami
pendekatan, metode dan teknik menyampaikan materi ajar kepada siswa dan cara
siswa menerima materi ajar tersebut sehingga siswa memahami materi tersebut
dengan baik. Keberhasilan tersebut dapat dinilai dengan mengevaluasi hasil
belajar siswa. Dengan demikian, maka perlu dikemukakan beberapa pendekatan dan metodologi dalam pengajaran bahasa asing termasuk
bahasa Inggris sebelum melihat secara rinci model pendekatan komunikatif dalam
pembelajaran bahasa Inggris.
1. Metode
Pencelupan (Immersion)
Model imersi (immersion) ini atau dikenal
dengan istilah lain adalah; ‘context’ berkaitan dengan ‘content based
instruction’. Genese (1985) dalam Hadley (1993:155) mendefinisikan program
pencelupan “as those in which the
target language is used for teaching regular school subjects”. Dia
menguraikan 3 buah model pencelupan yang digunakan di sekolah di Kanada: yaitu early
immersion, delayed immersion and late immersion. Metode ini dibuat
berdasarkan pada ide bahwa pembelajar (siswa) dapat menyerap dan menggunakan
bahasa asing seperti halnya anak memperoleh bahasa aslinya. Contoh penggunaan
metode ini adalah dalam suatu kelas dimana siswanya menggunakan bahasa aslinya
(misalnya bahasa Indonesia), guru menggunakan bahasa sasarannya atau bahasa
sasaran (misalnya bahasa Inggris) selama berada di sekolah mulai masuk di
halaman sekolah sampai meninggalkan sekolah, semua aktivitas yang berhubungan
dengan siswa harus menggunakan bahasa Inggris seperti guru memberi salam dalam
bahasa Inggris, terutama dalam proses belajar-mengajar.
Pada awalnya, siswa-siswa masih menjawab pertanyaan
atau perintah guru atau melakukan interaksinya dalam bahasa Indonesia. Di sini
guru berbicara bahasa Inggris dan siswa berbicara bahasa Indonesia. Tetapi
lambat laun situasi ini berubah, dan akhirnya semua siswa mampu menggunakan
bahasa Inggris sebagai alat komunikasi di sekolah. Dapat ditambahkan di sini
bahwa selain ketiga model pencelupan di atas, maka ada pula yang disebut dengan
pencelupan menyeluruh (total immersion)
yaitu dimana siswa tinggal dan belajar di tempat atau negara penutur asli
bahasa yang dia pelajari. Misalnya: orang Indonesia yang belajar bahasa Inggris
di negara yang penutur asli bahasa seperti Inggris, Amerika Serikat atau
Australia.
2. Metode
Terjemahan Tatabahasa (Grammar Translation Method)
Inti dari metode ini adalah mengajarkan
aturan-aturan tata bahasa secara rinci dengan penjelasan dalam bahasa siswa. Di
samping itu dalam proses belajar-mengajar, lebih banyak waktu dihabiskan untuk
membahas aturan-aturan tata bahasa (misalnya tenses, nouns, adverbs dan lain sebagainya). Kemudian
siswa diberikan latihan-latihan terjemahan bahasa asing ke dalam bahasa siswa
atau sebaliknya. Kalimat-kalimat yang dibuat selalu berdasarkan pada aturan
tata bahasa sasaran dengan penjelasan yang rinci dan latihan terjemahan kalimat
yang terpisah. Ditambahkan pula oleh Prator dan Celce Murcia yang mengatakan
bahwa sangat sedikit latihan ucapan, sedangkan kata-kata diajarkan secara
terpisah (Brown2001:18-19)
Melihat dari karakteristik metode ini, maka dapat dikatakan
bahwa sangat sedikit atau tidak mungkin dapat meningkatkan keterampilan
komunikasi siswa dalam bahasa sasaran. Hal ini karena siswa lebih banyak
dijejali dengan aturan-aturan tata bahasa dan kosa kata yang
tidak atau sedikit berguna dalam kehidupan sehari-hari atau yang kurang relevan
dengan pengalaman atau keinginan siswa. Demikian pula siswa dipaksa menghafal
sejumlah kata tanpa akhir dan mencoba menterjemahkan kalimat-kalimat dalam dua
bahasa yaitu bahasa sasaran ke dalam bahasa siswa atau sebaliknya. Namun,
banyak guru yang suka dengan metode ini sehingga metode ini sangat terkenal
karena cara menggunakannya mudah, termasuk dalam membuat soal/tes serta
mengoreksinya, namun siswa pada umumnya banyak yang tidak tertarik dengan
metode ini.
3. Metode
Langsung (Direct Method)
Dasar pikiran dalam pembuatan metode ini adalah sama
dengan metode yang dikembangkan oleh Gouin bahwa belajar bahasa kedua harus
sama dengan belajar memperoleh bahasa pertama. Dalam kegiatan pembelajaran
tersebut, yang paling banyak dilakukan adalah interaksi secara lisan,
penggunaan bahasa secara spontan, tidak ada terjemahan baik dari bahasa pertama
ke bahasa kedua atau sebaliknya, dan tidak melakukan pembahasan atau analisis
tata bahasa (grammar) seperti membahas tentang atauran-aturan grammar,
tenses, verb, nouns dan sebagainya.
Richard dan Rogers (1986:9-10) meringkas prinsip-prinsip Direct Method
sebagai berikut yaitu: bahasa pengantar dalam kelas menggunakan bahasa sasaran,
kata-kata yang nyata diajarkan melalui demonstasi, obyek, dan gambar, sedangkan
kata-kata yang abstrak diajarkan dengan cara memberikan asosiasi ide-ide, dan
keterampilan komunikasi lisan dilakukan melalui tanya jawab antara guru dan
siswa dalam kelas kecil secara intensif.
Perkembangan popularitas metode ini tidak stabil.
Pada awalnya, metode ini sangat diminati karena dapat memotivasi siswa untuk
belajar bahasa sasaran, tapi tentu saja ada kendala yang dihadapi terutama pada
kelas-kelas besar (siswanya lebih dari 40 orang), biaya besar, waktu dan guru perlu
mempunyai keterampilan bahasa sasaran yang memadai. Metode ini memerlukan kelas
kecil, dan diutamakan perhatian individu serta belajar yang intensif.
4. Metode
Tanggapan Fisik Secara Menyeluruh (Total Physical Response- TPR)
Metode ini dikembangkan oleh James Asher (1977) dalam
Brown (2001:29) mulai melakukan eksperimennya pada tahun 1960 an. Asher
menemukan bahwa di dalam belajar bahasa pertama, anak-anak lebih banyak
mendengarkan sebelum berbicara, dan diikuti dengan respon fisik (misalnya
gerakan, melihat, menggoyang-goyangkan tangan dan kaki, dan sebagainya). Dia
juga memberikan perhatian terhadap otak kanan. Menurut Asher, gerak kegiatan
itu dimotori oleh fungsi otak kanan yang mendahului otak kiri dalam proses
berbahasa.
Metode ini
adalah sebuah metode yang digunakan dengan cara menyuruh siswa untuk melakukan
sesuatu. Metode ini biasanya digunakan untuk siswa yang baru mulai belajar
bahasa asing. Misalnya, guru menyuruh siswa untuk membuka pintu, maka ungkapan
yang dikemukakan oleh guru adalah: Open the door”. Kata-kata lainnya
misalnya, stand up, walk over there, stop, turn round, sit down, close your
eyes, open the book , pick up the book, sit down, give it to John, put your pencil on the table, dan
sebagainya. Seperti halnya pendekatan imersi, metode ini juga searah dengan
pemerolehan bahasa pertama, yaitu selalu ada kaitannya antara kata-kata dan
tindakan. Di samping itu metode ini tentu saja ada keterbatasannya. Metode ini
hanya bisa efektif untuk mengajarkan siswa-siswa pemula (pada level beginner)
yang belajar bahasa asing (bahasa Inggris), tapi untuk kelas-kelas yang lebih
tinggi (misalnya pada level advanced) tidak sesuai. Namun pada
akhir-akhir ini TPR lebih banyak digunakan sebagai model kegiatan
belajar-mengajar di dalam kelas karena lebih banyak bermanfaat dalam
komunikatif dan interaktif di kelas baik sebagai latihan mendengar (auditory
input) maupun kegiatan fisik (physical activity).
5. Metode
Audiolingual (Audiolingual Method-ALM)
Metode ini menekankan pada unsur-unsur tata bahasa (grammar)
tetapi tidak sama dengan metode grammar translation method. Dalam metode
ini grammar tidak dijelaskan secara rinci, tetapi pokok-pokok tata
bahasa tertulis lebih jelas dalam buku teks dengan berbagai contoh-contoh
kalimat, gambar-gambar, sehingga makna tata bahasa itu jelas. Waktu yang disediakan
untuk mengajarkan tata bahasa inipun sangat sedikit dan tidak begitu jauh
mendominasi pembahasan dalam suatu pokok bahasan.
Di samping itu, metode ini menggunakan teknik umpan
tanggap (Stimulus-Response), melalui proses penguatan (reinfocement)
secara terus menerus agar siswa terbiasa dengan pola yang diajarkan. Siswa
diberikan latihan dalam bentuk pentubian (drill) sehingga inti dari tata
bahasa tersebut dapat dipahami oleh siswa atau mereka menjadi terbiasa (familiar)
dengan pola tersebut. Ciri utama metode ini adalah bahwa belajar bahasa
membentuk kebiasaan. Oleh sebab itu, pelaksanaan dan latihanya lebih banyak
dilakukan dalam bentuk drill.
Berikut ini adalah contoh latihan
pentubian (drill) Audio-lingual method.
Teacher : There’s a glass
on the table ........ repeat
Students: There’s a glass on
the table
Teacher : pencil
Students: There’s a pencil
on the table
Teacher : Book
Students: There’s
a book on the table
Teacher : on the chair
Students: There’s
a book on the chair, dan seterusnya
Dengan latihan ini, siswa diharapkan dapat
menggunakan bahasa yang benar, dan tidak membiarkan adanya kesalahan yang
dibuat oleh siswa di luar dari pola yang dilatihkan.
Pada mulanya, Audiolingual Method (ALM) atau
Metode Audiolingual ini diilhami oleh kebutuhan tentara Amerika mengenai
pentingnya keterampilan bahasa lisan baik bahasa lisan pihak lawan maupun
bahasa lisan sekutunya dalam perang dunia kedua. Oleh sebab itu metode ini
awalnya dikenal dengan The Army Specialized Training Programmed (ASTP)
atau disebut juga dengan Army Method (Brown: 2001:74), maka
karakteristik utama pelatihan ini adalah terletak pada latihan percakapan (aural
activity), ucapan (pronunciation), dan latihan pentubian (drill) tentang pola-pola percakapan dan
tidak banyak melakukan terjemahan dan membahas masalah tata bahasa. Brown
menyimpulkan beberapa karakteristik ALM yang dikutip dari Prator dan
Celce-Murcia seperti materi-materi baru diajarkan dalam dialog dan kata
dipelajari dalam konteks (Brown: 2001:74-75).
Metode ini diminati dan mengakar dalam pembelajaran
bahasa karena materi ajar dipilih dengan seksama, diuji coba dan diseminasikan
ke berbagai lembaga pendidikan. Di samping itu, metode ini diminati pula oleh
siswa karena memberikan berbagai bentuk dialog/percakapan. Namun, hal ini tidak
lama bertahan karena banyak kritikan dari berbagai ahli bahasa karena
kegagalannya dalam mengajarkan kemahiran komunikatif. Hal lain yang menyebabkan
kurang diminatinya metode ini adalah belajar bahasa dengan metode ini tidak
diperoleh melalui proses kebiasaan, dan terlalu banyak waktu untuk
mempelajarinya, dan struktur linguistiknya tidak memberikan sesuatu tentang
bahasa yang diinginkan oleh siswa.
6. Belajar
Bahasa dalam Komunitas (Community Language Learning-CLL)
Metode ini hampir dikatakan tidak seperti
metode-metode lainnya dalam pelaksanaannya dalam kelas. Metode ini tidak
berbentuk seperti pengajaran dalam kelas pada umumnya, tapi lebih menyerupai
antara klien (siswa) dan konselor (guru). Mereka duduk membentuk lingkaran,
sedangkan guru berada di luar lingkaran itu, sehingga guru dapat mengontrol
dengan berjalan mengelilingi mereka. Bahan atau topik yang mau didiskusikan
tergantung dari pada kesepakatan siswa. Selama diskusi berjalan, siswa
kadang-kadang mengungkapkan ide atau pendapatnya dalam bahasa mereka, dan pada
saat itu, guru memberikan ungkapan yang ekuivalen dengan maksud siswa tersebut
mengganti atau memahami ungkapan yang sebenarnya dalam bahasa sasaran atau
mungkin juga diterjemahkan (misalnya dalam bahasa Inggris). Proses diskusi itu
biasanya direkam, kemudian dibahas bersama setelah selesai diskusi, sehingga
siswa dapat merefleksikan perasaan, dan pandangan mereka sendiri terhadap
pengalaman belajar selama itu. Oleh karena itu, guru sangat memegang peranan
dalam mengatur pelaksanaan kegiatan tersebut seperti apa yang dikatakan oleh
Wright, apakah sebagai motivator, pengoreksi (corrector) atau pemimpin (leader),
hakim (judge), orang tua (parents) dan sebagainya (Wright1997:5).
Khususnya dalam kegiatan berbicara, peran guru bisa sebagai pemancing (prompter),
dimana pada saat siswa terhambat berbicara karena lupa sebuah kata atau frasa,
guru berperan memberikan pancingan untuk mengungkapkan idenya tersebut. Sebagai
peserta (participant), guru bisa bertindak sebagai peserta diskusi atau
sebagai salah satu pemeran dalam permainan peran. Yang paling banyak dilakukan
adalah sebagai pemberi umpan (feedback provider), artinya pada saat
siswa berbicara, kadang-kadang mereka memerlukan koreksi dari guru yang tidak
menghambat pembicaraan mereka, sehingga mereka bisa melangsungkan
percakapannya.
Sebagai
konselor, Keith Johnson (2001:9-10) memberikan contoh tentang orang-orang Amerika yang belajar bahasa Rusia
dan mencoba berbicara dalam bahasa Rusia dengan topik pilihan mereka sendiri.
Dalam menjelaskan kata-kata atau frasa misalnya, konselor tidak langsung
menjelaskan secara terbuka, tapi melalui bisikan atau hanya menjelaskan dalam
bentuk mimik atau gerakan, dan klien dapat melangsungkan percakapanya.
7. Cara
Diam (The Silent Way)
Metode ini ditemukan oleh Caleb
Gattegno Chamot & McKeon (1985) dalam Brown (2000:106) yang sangat tertarik
dengan pendekatan humanistik terhadap pendidikan. Salah satu karakteristik
metode ini adalah pendekatan pemecahan masalah terhadap belajar.
Salah satu ciri utama dari metode ini adalah guru berusaha semaksimal
mungkin tidak langsung terlibat dalam percakapan siswa atau paling sedikit ikut
mengintervensi proses percakapan siswa. Menurut Harmer, penemu metode ini,
Caleb Cattegno percaya bahwa belajar bisa berjalan dengan baik kalau siswa
menirukan dan menciptakan bahasanya sendiri dari pada mengingat atau mengulangi
apa yang diajarkan oleh guru. Jadi siswa harus mengendalikan belajarnya
sendiri, dan bukan guru (Harmer2001:88-89).
Dalam Silent Way, guru berbicara sambil menunjuk phonemic chart
atau menyusun Cuisenaire rods. Harmer (2001:89) menjelaskanbahwa Cuisenaire rods
adalah potongan kayu kecil yang berbeda panjang. Masing-masing potongan kayu
tersebut berbeda warnanya. Cuisenaire rods sederhana sekali, tapi dapat
digunakan dalam berbagai kegiatan pembelajaran, misalnya pembelajaran kosa kata
seperti belajar warna, jumlah, kata sifat (long, short), kata kerja (give,
take, pick up) dan syntax (tense, comparative, pluralization, word order
dan sejenisnya). Untuk belajar kata benda (noun) misalnya, kita
dapat mengatakan potongan kayu itu adalah pen atau pencil or telephone, a
dog, atau a key, sehingga dengan mengangkat potongan kayu itu atau
menempatkannya dalam satu kelompok, sebuah cerita dapat terbentuk. Untuk itu,
diperlukan sedikit hayalan. Potongan kayu inipun dapat digunakan untuk
mempresentasikan suku kata (syllables) dalam satu kata dalam kalimat,
dan menunjukkan dimana tekanan kata (stress). Juga kita dapat membentuk
sebuah kata atau frasa, misalnya; lima buah potongan kayu, dan siswa diminta
mengurutkannya dengan benar. Dengan memindahkan potongan kayu tersebut dan
menunjukkan dimana terbentuk atau tidak sebuah kalimat, sehingga siswa dapat
menyaksikan dengan jelas sesuatu yang ia coba tentang apa yang dipikirkannya.
Demikian juga dalam mengajarkan kata depan (preposition), guru dapat
memberi model dengan potongan kayu seperti kalimat: The red one is on top
of/under/beside/over/behind (etc) the green one.
Selanjutnya, dalam kegiatan
belajar-mengajar, peran guru hanya memberikan isyarat (tanpa berbicara) bahwa
apa yang diungkapkan oleh siswa itu benar. Kalau siswa mengungkapkan kesalahan,
siswa lain dengan cepat menyarankan agar siswa tersebut mengungkapkan dengan
benar. Jadi siswa yang memperbaiki kesalahannya sendiri atau teman lainnya
dengan cara yang lebih menyenangkan.
Berdasarkan uraian dan ciri-ciri
metode ini, maka Richards and Rodgers (1986:99). menyimpulkan ada sebuah teori belajar di
belakang silent way ini, yaitu belajar terfasilitasi jika siswa
menemukan atau menciptakan dan bukan mengingat dan mengulangi apa yang
dipelajari baik melalui obyek fisik atau dengan cara memecahkan masalah.
8. Sugestopedia
(Suggestopedia)
Metode ini dikembangkan oleh Georgi
Lozanov, seorang ahli psikologi dari Uni Soviet Harmer (2001:89-90). Menurut Lozanov, orang mampu belajar lebih banyak dari pada apa yang
mereka berikan pada dirinya sendiri. Metode ini memandang bahwa lingkungan dan
keadaan dalam kelas merupakan sesuatu yang penting sekali.
Ciri-ciri suggestopedia adalah
mengacu pada “infatilazation” (bersifat kekanak-kanakan) yang berarti
bahwa hubungan guru dan siswa sama dengan hubungan anak dan orang tua, dan
untuk menghindari kendala proses belajar, siswa diberi nama samaran. Tema-tema pembahasan yang
traumatik sedapat mungkin dihindari, dan rasa simpati guru dalam memperlakukan
siswa sangat penting.
Dalam pelaksanaan pembelajaran bahasa
asing, Lozanov dan pengikutnya melaksanakan eksperimen dengan mempresentasikan vocabulary,
reading, dialog, role plays, drama, dan berbagai macam kegiatan di kelas
lainnya (Brown (2000:103). Beberapa metodologi yang
digunakan dalam kelas tidak mempunyai keunikan khusus. Perbedaannya adalah
bahwa selama pelajaran berlangsung di dalam kelas, guru memutar musik klasik,
dan siswa duduk dengan rileks di tempat duduk yang empuk dan menyenangkan.
Siswa-siswa tersebut dianjurkan bertindak seperti seorang anak dan menjauhkan
perasaannya dari kondisi antara guru dan siswa.
Pelajaran suggestopedia mempunyai
tiga bagian utama. Ada sub-bagian lisan yang mana materi yang dipelajari
sebelumnya digunakan sebagai bahan diskusi, kemudian dilanjutkan dengan
presentasi dan diskusi mengenai materi dialog yang baru. Akhirnya, dalam sesi ‘seance’
atau ‘concert’ siswa mendengarkan musik dengan rileks, sementara itu,
guru membaca materi dialog yang baru disesuaikan dengan aluran musik. Selama
tahap ini siswa dan guru berhenti sejenak, kemudian siswa meninggalkan ruangan
dengan tenang (silently).
9. Pendekatan
Alamiah (The Natural Approach)
Metode ini dikembangkan oleh Tracy Terrell, teman
Stephen Krashen yang dikutip dalam Brown (2000:31). Seperti halnya Asher dengan
Total Physical Response (TPR), Krashen dan Terrel merasa bahwa siswa
lebih baik menunda berbicara sampai terjadi bicara dengan sendirinya dan siswa
harus rileks sehingga terjadi komunikasi dan perolehan bahasa. Kenyataanya, natural
approach diilhami oleh penggunaan kegiatan-kegiatan TPR pada tingkat
pembelajar pemula ketika ada masukan yang komprehensip dalam pemerolehan
bahasa.
Dalam metode ini dikemukakan beberapa tujuan
pengajaran; bahasa kedua dipelajari untuk tujuan komunikasi lisan dan
komunikasi tertulis, misalnya; untuk persiapan dalam bidang akademik;
mendengarkan kuliah, diskusi dalam kelas, menulis makalah penelitian atau buku
dan lain sebagainya. Untuk tujuan komunikasi lisan, Natural Approach
dapat memberikan dasar-dasar keterampilan berkomunikasi, misalnya percakapan
setiap hari, berbelanja, mendengar radio dan sebagainya. Dalam hal ini, tugas
pertama guru adalah memberikan masukan (input) yang komprehensip yaitu
berbicara bahasa Inggris yang dapat dimengerti oleh siswa atau sedikit lebih
tinggi dari tingkat keterampilan/pengetahuan siswa. Selama periode diam itu (silent
period), siswa tidak berbicara apapun sampai mereka merasa siap untuk
berbicara. Guru adalah sumber masukan bagi siswa dan merupakam pencipta
kegiatan-kegiatan yang menarik di dalam kelas seperti; perintah, permainan,
kelompok kecil dan sebagainya.
Di dalam metode pendekatan Alamiah (Natural
Approach) ini, siswa mengikuti tiga langkah yang dikembangkan oleh Krashen
dan Terrell yaitu: a) Tahap reproduksi yaitu merupakan tahap pengembangan
keterampilan mendengarkan (listening skill), b) Tahap produksi awal
biasanya ditandai dengan kesalahan-kesalahan siswa akibat dari kesulitan
penggunaan bahasa. Di sini guru menfokuskan pembelajarannya pada arti dan bukan
pada bentuk. Oleh karena itu guru tidak mengoreksi kesalahan-kesalahan siswa
selama tahap ini (kalau tidak akan terhambat dalam arti secara menyeluruh), c)
Tahap terakhir adalah salah satu tahap produksi bahasa ke dalam rangkaian
wacana (discourse) yang melibatkan lebih banyak permainan yang rumit (complex
games), bermain peran (role plays), dialog terbuka (open ended
dialogues), diskusi, and kelompok kecil. Berikut ini
adalah peran siswa (the roles of learners) pada masing-masing
pendekatan/metode belajar-mengajar tersebut di atas. Nunan(1989:80).
Tabel
2: Pendekatan/Metode Belajar-Mengajar dan Peran Siswa (Nunan:1989:80)
Learner acquires and uses the target language as
the child acquires the mother language
|
Grammar Translation
Method
|
Learner is just a receiver and trained to be a
translator. There is no chance for him/her to use the target language
|
Learner is a user of the target language, and
he/she is trained to practice the use of target language spontanuously
|
Total physical Response (TPR)
|
Learner is a listener and performer; little
influence over content and none over methododlogy
|
Audiolingual Method
(ALM)
|
Learner has little control; reacts to teacher
direction; passive, reactive role
|
Community Language
Learning (CLL)
|
Learners are of social group or community; move
from dependence to autonomy as learning progresses
|
Learner learns through systematic analysisis; must become independent and autonomous
|
Learners are passive, have little control over
content or methods
|
Learners play an active role and have relatively
high degree of control over content language production
|
Learner listens to teacher and repeats; no control
over content or methods
|
Learner has an active, negociative role; should
contribute as well as receive
|
10. Pendekatan Komunikatif dalam Pembelajaran Bahasa Inggris.
Dalam
kurikulum bahasa Inggris berbasis komptensi, pendekatan pengajaran bahasa Inggris
yang digunakan adalah pendekatan komunikatif (communicative approach) atau yang dikenal dengan pendekatan
kebermaknaan (meaningful approach).
Tujuan pendekatan komunikatif ini adalah untuk melatih siswa agar dapat
menggunakan bahasa sasaran (target language) sesuai dengan keterampilan
dan tingkat (level) siswa tersebut. Pendekatan komunikatif dalam
pengajaran bahasa menitikberatkan pada keaktifan berkomunikasi antara pembicara
dan pendengar, penulis dan pembaca atau menciptakan interaksi secara aktif diantara
keduanya.
Banyak
ahli yang memberikan definisi tentang makna pendekatan komunikatif (communicative
approach). Merekapun memberi nama lain tentang communicative approach seperti ‘Meaningful
approach’ dalam kurikulum bahasa Inggris 1994, pendekatan konstruktivis
atau pendekatan kooperatif. Namun semua istilah ini adalah mengacu kepada
hubungan yang komunikatif dalam pembelajaran bahasa. Intinya bahwa prinsip
komunikasi adalah orang berbicara atau menulis dengan maksud mengkomunikasikan
sesuatu kepada orang lain seperti yang dikemukakan oleh Mey (2000:68). “that people talk with the intention to
communicate something to somebody, this is the foundation of all linguistic
behavior. Sedangkan Gray (1990) mengatakan bahwa:
A communicative approach is: … on
meaningful social interaction achieved through a series of communicative activities that are
evaluated in terms of their
communicative effectiveness rather than their grammatical accuracy.
Dalam
komunikasi tersebut, yang diutamakan adalah saling pengertian antara kedua
belah pihak dengan melakukan interaksi sosial yang bermakna melalui kegiatan
komunikasi secara efektif dengan menitikberatkan pada makna dan bukan pada tata
bahasa. Namun, pada tingkat yang lebih tinggi, keakurasian atau ketepatan
penggunaan tata bahasa juga dapat mencerminkan keterampilan berkomunikasi yang
efektif dan efisien.
Menurut
Kridalaksana dalam Kasihani (2001:2) bahwa kompetensi komunikatif adalah
keterampilan bahasawan untuk mempergunakan bahasa secara sosial yang dapat
diterima dan memadai. Sementara itu Rivers dalam Kasihani (2001:2)
mendefinisikan sebagai keterampilan untuk berfungsi dalam setting yang betul-betul komunikatif yaitu dalam suatu transaksi
spontan yang melibatkan lebih dari satu orang. Sedangkan Grow (1987:1)
mengatakan bahwa pendekatan komunikatif adalah pendekatan pengajaran yang
bersifat menyeluruh.
Dari
berbagai definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa istilah pendekatan
komunikatif (communicative approach)
adalah keterampilan berkomunikasi. Keterampilan ini menurut Nababan (1991:3)
memuat unsur-unsur 1) Language is a means
of communication, and 2) That the goal of learning language is the ability to
communicate.
Kegiatan
pembelajaran dengan menggunakan pendekatan komunikatif dapat dipelajari dalam
situasi nyata dimana terjadi pertukaran pesan seperti yang diungkapkan oleh
Medgyes dalam Rossner dan Bolitho (1990:105) yaitu ‘Communicative approach that the foreign language can be learnt only in
real communication situation where real messages are exchanged. Sedangkan
Richard (1990:51) mengatakan bahwa
“communication largely consists of the use of language conventional ways”. Lebih
lanjut Cunningwoodsworth (1984:43) mengemukakan bahwa mampu berkomunikasi
secara efektif dalam bahasa Inggris adalah harus melibatkan berbagai
keterampilan berbahasa.
Berdasarkan
pendapat, ide-ide, definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
pendekatan komunikatif adalah sebuah cara atau pendekatan pengajaran bahasa
yang menitikberatkan terjadinya interaksi aktif secara alamiah antara pembicara
dengan pendengar atau penulis dengan pembaca. Jadi orang berbicara dengan
maksud mengkomunikasikan sesuatu kepada orang lain yang disebut oleh Mey
(2000:68). sebagai prinsip komunikasi.
Jadi
dalam komunikasi, pembicara dan pendengar aktif melakukan interaksi secara
alamiah, sehingga komunikasi antara keduanya berjalan secara efektif dan
efisien. Namun, bisa saja terjadi komunikasi yang sengaja diciptakan sesuai
dengan kondisi dan situasi.
Rivers
dan Templey (1978) dalam Ahmad (mimeo) menambahkan proses belajar komunikasi
memuat runtun tahapan: 1) Pembekalan keterampilan, dan 2) Penggunaan
keterampilan. Sementara itu, Kaswanti (1990:4) mengatakan bahwa ciri yang
menonjol pada pendekatan komunikatif ialah beralihnya kiblat curahan perhatian
di dalam pengajaran bahasa yaitu perhatian ke siswa sebagai titik pusat (learner
centered). Akibatnya, banyak penelitian tentang proses belajar dan proses
mengusai bahasa terjadi pada diri sendiri.
Dalam
pengajaran bahasa misalnya; materi ajar, kalau ditinjau dari segi pragmatik,
maka terdapat sejumlah fungsi komunikatif yang dapat disederhanakan dalam
beberapa kategori antara lain: Van EK (1980) mendaftar enam macam fungsi
komunikatif, Finocchiaro ada lima, dan Wilkins (1973,1976) ada delapam macam (Kaswanti
1990:4). Selanjutnya Kaswanti mengatakan bahwa dalam fungsi komunikatif
terdapat sejumlah tindak bahasa seperti: mengajukan pertanyaan, menawarkan
usulan, menolak ajakan, menyatakan rasa senang, dan sebagainya.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa dalam pendekatan komunikatif yang diutamakan
adalah terjadinya hubungan dari kedua pihak yang terlibat sesuai dengan
konteks, situasi, perasaan (mood) sewaktu terjadi komunikasi tersebut.
Timbulnya perasaan dalam komunikasi tentu akan menambah aktifnya proses
komunikasi tersebut. Tanpa adanya aspek komunikasi tersebut di atas, maka akan
sulit diharapkan terjadi interaksi komunikasi secara normal.
Komunikasi
dengan menggunakan bahasa sasaran tidak bisa terpisah antara satu keterampilan
berbahasa yang satu dengan yang lainnya, namun harus berkaitan secara erat satu
sama lain. Kedekatan hubungan antara empat keterampilan berbahasa dengan
unsur-unsur bahasa yang lain dalam berbagai situasi interaksi dalam pengajaran
bahasa disebut juga kemahiran terpadu (integrated
skill). Keempat keterampilan berbahasa diajarkan secara terpadu dan tidak
diajarkan secara terpisah. Misalnya, dalam mengajarkan listening, tidak bisa hanya mengajarkan keterampilan itu saja
tersendiri, namun mau tidak mau keterampilan-keterampilan lain seperti speaking ikut terbawa. Jadi, dalam
mengajarkan listening, speaking atau
writing ikut terlibat di dalamnya, sehingga komunikasi dengan bahasa
tersebut dapat secara aktif dilakukan.
Di
samping itu, dalam pengajaran bahasa yang komunikatif, kita juga menekankan
perlunya mengetahui aturan-aturan tata bahasa dan dapat menggunakannya secara
efektif dan tepat. Nunan (1989:12) menekankan bahwa kita perlu mengetahui
berbagai bentuk tata bahasa dan mampu menggunakannya secara efektif dan tepat
dikala kita berkomunikasi. Berkaitan dengan hal itu, sesuatu yang kita lakukan
dalam kelas itu perlu didukukng oleh keyakinan tentang aturan bahasa dan
bagaimana mempelajari bahasa serta penerapannya dalam berkomunikasi.
Selain
memadukan keempat keterampilan tersebut, maka seperti yang diuraikan
sebelumnya, keterampilan, kebutuhan dan faktor psikologis dan karakteristik
siswa juga perlu diperhatikan. Rossner and Bolitho (1990:96) juga menekankan
pentingnya melihat kebutuhan siswa dalam pengajaran bahasa yang komunikatif.
Keempat hal tersebut adalah: 1) find out
what the learner needs to know, 2) find
out what he/she knows already, 3) abstract the second from the first, and 4) teach it. Hal ini juga dikatakan oleh
Medgyes dalam Rossner and Bolitho (1990:104-105) tentang prinsip-prinsip guru
yang komunkatif (Communicative teachers)
mempunyai keterampilan ekstra, multi
dimensi, menguasai teknologi, dan menjadikan siswa sebagai pusat belajar, tidak
tergantung dari buku teks, dan mampu menstimulus siswa.
Sesuai
dengan keyakinan Medgyes yang menempatkan siswa sebagai pusat belajar bagi guru
yang komunikatif. Nunan (1991:178) menyarankan agar pendekatan tersebut harus
berdasarkan pada keyakinan bahwa siswa membawa sikap dan pengalaman yang
berbeda yang harus dipertimbangkan dalam proses belajar-mengajar di kelas.
Berdasarkan
pandangan dan pendapat para ahli bahasa dan pendidikan tersebut di atas, maka
dapat dikatakan bahwa konsekwensi pengajaran bahasa adalah harus ada interaksi
antara penutur bahasa dan pendengar atau penulis bahasa dengan pembaca,
sehingga keduanya dapat melakukan interaksi secara aktif. Komunikasi diantara
mereka dilakukan dengan menggunakan keempat keterampilan berbahasa secara
terpadu, dan disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan diantara mereka. Oleh
karena itu, Nunan (1991:178) memandang bahwa pembelajar bahasa akan membawa
sikap dan kebiasaan, dan hal ini menjadi pertimbangan dalam belajar-mengajar
bahasa terutama bahasa Inggris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar